Memang Kamto lebih dulu menyelesaikan masalah tiga tahun silam, namun Kamto keluar bukan urusan ini, betapa inginnya bersua kembali menikamti senja dan fajar saling berangan selalu berdampingan menganggap kalau fajar dan senja berbeda masalah waktu, matahari dan siluet oranye selalu bersama begitulah yang diinginkan mereka, Kamto dan Kamti.
Kamti selalu menunggu Kamto pulang, namun setelah
mendapat kabar dua bulan lagi akan keluar bukan hati yang tenang yang didapatkan
Kamti, kecemasan dari berbagai kemungkinan.
“Dooor...” tembakan itu entah berasal dari mana, yang
jelas, peluru itu mengarah pada posisi Kamto. Penembak bukan Simo Haya, jadi
tembakan itu meleset ditambah Kamti yang tiba-tiba mendorong Kamto.
“Mengapa kau datang kemari?” Kamto terjatuh bersama
Kamti.
“Karena aku tak ingin kamu gagal membawa oleh-oleh
buatku.”
“Mengapa kau tahu tentang ini? Oleh-oleh ini?”
“Bukan Kamti kalau tidak tahu ini, pintu serta jendela
selalu terbuka untukmu.”
“Masuk ke dalam semuaaa...” tiba-tiba Kamto teriak
memerintah.
Perintah itu bagaikan kobaran yang membara, tanpa ragu
dan takut semua masuk ke ruamh pimpinan. Untuk kebenaran!
“Dorrr...”
“Dorrr...”
“Dorrr...”
Tembakan itu tak mampu mematikan langkah.
“Kejelasan akan di jelaskan dua hari lagi di
auditorium!” pimpinan keluar dengan membawa ucapan itu!
Mereka bukan orang bodh, mereka bukan orang fanatik,
tapi mereka butuh kejelasan, mereka juga tahu sikap.
Akhirnya mereka menuruti perintah pimpinan.
Kamto membawa satu setengah oleh-oleh dari sel dan
rumah pimpinan.
Setengahnya masih belum didapatkan, karena kebenaran
belum terungkap jelas.
Tapi, bukan soal itu. Ini tentang menunggu. Menunggu menyaksikan
matahari dan kedua siluetnya. Tiga tahun tak pernah bersama, menikmati
keindahan cipta tuhan, tak pantas bila pulang tak membawa oleh-oleh untuk
kekasih yang setia menunggu. Butuh hati yang kuat untuk itu, namun Kamti
menjawab dengan pasti.
Tamat
0 komentar:
Posting Komentar