Aku

Han, Lelaki di semua masa dan peristiwa Erlita

Thank's

Terima Kasih atas kunjungannya, salam Kenal! :)

Budaya Konsumtif di tengah Industri Kapitalis

Tulisan ini, tulisan sederhana, tulisan tak tersusun rapi seperti karya tulis ilmiah, tulisan ini sekedar tulisan dari penulis. terimakasih telah membaca tulisan di awah ini. Terimakasih Apresiasinya.

Kapitalisme banyak menawarkan berbagai kemudahan dengan dalih memeprmudah masyarakat untuk memenuhi hidupnya, kelompok kapitalislah yang kemudian banyak memproduksi barang-barang kebutuhan tersebut. Semua barang produksi sebagian kapitalis selalu menwarkan berbagai kemudahan, serta memanjakan individu, dan dicetak ulang dengan gaya yang serba instan. Semua kebutuhan dikonsumsi individu guna meraih kebahagiaan, meraih kemampuan.
Orang kaya dapat memenuhi kebutuhannya dengan lebih cepat dari pada orang miskin, misalnya dalam masalh pembayaran, yang mana orang kaya menggunakan ATM, kartu kredit dll untuk memudahkan memenuhi kebutuhan hidup, sedang orang miskin tidak. Pun keduanya bisa dibedakan melalui contoh lain yaitu transportasi, sekarang transportasi sudah dibedakan secara langsung, maksudnya bukan masyrakat yang membedakan sendiri, kereta misalnya, kata eksekutif, dinikmati oleh mereka yang punya. Masih b anyak lagi ruang pembagian dalam keduanya, tapi dalam hal ini tidak menafikan kalau orang miskin bisa merasakan hal tersebut.
Budaya Konsumtif ternyata tidak menyeragamkan badan sosial dan keuntungan budaya. Konsumsi dapat menciptakan sebuah perbedaan dalam klasifikasi yang bisa jadi menciptakan sebuah kesenjangan. Belanja yang diatur oleh kemampuan belanja, tempat berbelanja, dan pengetahuan tentang merk yang akan dibeli juga menjadi hal yang membedakan.
Yang awalnya, kebutuhan adalah hasil dari produksi, sekarang berubah menjadi kebutuhan merupakan produksi dari sistem produksi (Baudrillard). Artinya, budaya konsumtif di tengah Industri Kapitalis menyatakan bahwa objek kebutuhan masyarakat buka merupakan satu kesatuan yang memang merupakan kebutuhan. Namun objek tersebut tergantung seberapa besar kekutan konsumsi. Intinya, kebutuhan masyarakat bukan masyarakat yang menciptakan, para pemilik modal lah yang memaksa masyarakat untuk mengkonsumsi objek yang sebenarnya bukan kebutuhan penting dalam hidup.
Teknologi contohnya, yang tak henti-hentinya menawarkan hal yang lebih dan lebih yang sebenarnya tidak harus dikonsumsi, kembali lagi terhadap kekuatan konsumsi di tengah budaya konsumtif ini, tidak sulit menarik masyarakat mengkonsumsi objek tersebut.
Oleh karena itu, kunci utama dalam sistem sekarang adalah mengontrol mekanisme produksi sekaligus permintaan konsumen sebagai bagian dari sosialisasi terencana melalui simbol-simbol. Banyak orang sekarang lebih memilih membeli simbol atau merek dari pada manfaat. Merek secara otomatis menunjukkan sebuah status individu.
Orang lebih memilih membeli barang di supermarket dari pada membeli di pasar tradisional atan toko-toko. Akan lebih memilih nongkrong di cafe dari pada di warung kopi biasa, lebih memilih KFC dari pada warung nasi biasal warung tegalwarung nasi padang.
Konsumsi sekarang sudah tidak dimaknai sebagai proses pemenuhan kebutuhan pokok, namun dialihfungsikan sebagai mengeksprsikan posisi dan identitas kultural seorang di dalam masyarakat.
Budaya konsumtif dalam masyarakat lebih memilih membeli tanda dari pada untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal ini tetap dipengaruhi oleh para kapitalis, yang mana menghadirkan sebuah produk yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok. Setiap perilaku masyarakat sudah jauh dari identitas ketika kebutuhan dikendalikan oleh kapitalis.
Jadi, bila kita membeli makanan di KFC sekan kita membeli sebuah tanda, sebuah profil baru bagi kita. sudah ada sejak lama dalam pemahaman kita kalau orang-orang yang masuk di KFC bukan orang biasa seperti orang kampung, atau pekerja sederhana.

Ah, Semoga Kembali Berkisah


Doc. Internet
Lama sekali aku tak berkisah, bercerita tentang apa saja, tentang siapa saja, cerita dari orang lain, cerita dari diri sendiri, setelah lama aku berusaha untuk kembali naik keluar dari lubang yang sangat dalam, terjatuh setelah mengejar target yang kecil. Aku buka kitab-kitab tata cara berkisah, bercerita yang baik. Tiba-tiba saja aku kembali ke peristiwa dulu, ketika berdarah-darah dalam berkisah. Sungguh ini harus selesai dalam berkisah, kalaupun nanti aku dihadapkan dengan lubang yang lebih dalam, ataupun selebar jurang, setidaknya aku diam sejenak atau berusaha untuk loncat sekuat tenaga, atau membuat jembatan untuk melewati itu. Aku yakin Tuhan bersamaku, hanya aku yang kadang tak menyadarinya, menyerah rela masuk ke dalam lubang yang ternyata sangat dalam.

Bicara waktu, yang memang benar-benar misterius tak bisa dipungkiri kenyamanan memang membuat kita lupa akan perjuangan, tentunya akan banyak tantangan yang lebih berat, mulai dari Sosmed yang merengek-rengek minta diutak atik, atau orang-orang dekat yang ngajak ngopi demi menghilangkan stres,  bisa jadi tugas yang tiba-tiba nangis karena belum selesai, itu semua aku sebut halangan dalam berkisah, ya, begitulah rutinitas yang kadang menjadi alibi belaka, demi kenyamanan diri dalam sulitnya berjuang.

Bicara berkisah, aku jadi ingat Erlita, yang lama tak aku temui, kurang dari satu tahun aku tak menemuinya. Ah, aku tak mau seperti Walmiki yang di protes oleh aktornya dalam Novel Kitab Omong Kosong-nya Seno Gumira Ajidarma. Bayangkan dari sekian tokoh dalam Ramayana, mengganggu perjalanan Walmiki yang berkelana dari negeri satu ke negeri lainnya. Dari tokoh yang karenanya tokoh itu tersiksa sampai tokoh yang hanya muncul sekejap, pun ada yang tak tentu nasibnya. Maklum, cerita yang ditulis Walmiki banyak versi ketika ditangan pendongeng lain.  Tokoh yang sebenarnya mati, tapi dihidupkan oleh pendongeng lain, ah, aku tak ingin perempuan anggunku protes kepadaku akibat aku tinggalkan selama ini.

Tapi aku masih bingung akan berkisah apa, akan aku bawa kemana Erlita berkelana? Sangat perlu sepertinya aku mengobrak-abrik rak buku yang ada di dekatku ini, meski bukan milikku semua, aku tak peduli itu. Oke, Bongkar! Ah, Filsafat, Politik, Sosiologi, Novel, Kisah Sahabat Nabi. Mana yang akan aku pakai ini? Apa aku gabung semua, tapi Erlita pasti bingung atau aku yang bingung meng-kolaborasi semua buku-buku ini, apalagi pasti ada lain pemikiran dan pendapat tentang apapun. Plato dan aristoteles saja yang kedudukannya guru dan murid berbeda pendapat antara idelis dan realitas, apalagi yang lain yang tak bertemu dalam satu zaman.

Ah, sudahlah. Tulisan ini saja berjalan apa adanya, mungkin nanti cerita Erlita akan berjalan apa adanya juga. Toh seiring waktu bagaimanapun caranya, karena hidup ini punya target pasti pengetahuanku bertambah, ya, itu modal untuk bercerita bersama Erlita.

“Keluar!”

Hah?! Ada yang ketok pintu kamarku. Siapa? Suaranya perempuan? Bagaimana mungkin ada teman yang main pagi-pagi begini? Erlita? Ah, mana mungkin dia tahu kos-ku yang baru, dia tahunya kontrakanku yang dulu.

“Siapa?!”

“Hah? Siapa Perempuan yang kau janjikan untuk berkelana, setelah namaku kau jadikan nama samaran dalam cerita pendekmu itu!”

“Erlita?”

“Apa ada perempuan lain, selain nama itu?”

Aku menggeleng, tapi pasti dia tak tahu kalau aku menggeleng.

“Cepat, keluar!”

“Iya, tunggu.”

“Tunggu apa lagi?”

“Aku akan mengajakmu berkisah.”

“Bohong! Buktinya kau tinggalkan aku begitu lama, aku mencari-cari kau, kemana-mana ternyata kau pindah tak bilang-bilang, apa maksudmu? Hah?”

Ah, malas aku mendengarnya, sudah kuduga, semangat berkisah ini pasti ada saja halangannya, termasuk protes dari tokohnya. Aku harus memutuskan kisahku ini.

Dunia Shopie? Ah, apa mungkin Erlita bisa berkelana seperti Shopie dalam novel yang ditulis Jostein Gaarder itu? Dengan pertanyaan pertanyaan filsafat dan jawaban yang teteap menimbulkan pertanyaan, meski dalam penjelasan sederhana, ah seperti Maneka dan Satya dalam Novel Omong kosong itu berarti. Perjalan menemukan lima kitab dengan pertanyaan yang sebenarnya merujuk pada filsafat, bicara dunia dan manusianya. Ah, janganlah!

“Cepat!”

“Iya tunggu, Erlita!” Jawabku geram.

Sosiologi? Apa mungkin? Sepertinya enak juga, nantinya dia bisa tau macam masyarakat, masyarakat dalam bertindak, masyarakat dari zaman ke zaman, setumpukan teori setumpukan pemikiran para sosiolog yang nantinya tahu filsafat juga.

“Kau sedang apa?”

“Bersiap-siap berkisah. Aku tuntaskan janjiku!”

“Masalahnya aku tak percaya, sebelum aku masuk dan melihat wajahmu!”

“Ah, Tunggulah! Diam disana! Sebentar lagi!”

Kalau sosiologi, pasti dia akan bertemu dengan Karl Marx, oh, bisa saja aku titip pertanyaan kepada Erlita, tentang Kelas yang tak sempat terdiefinisakan olehnya. Mungkin saja Erlita mendapat penjelasan itu. Atau bertemu dengan Michel Foucault bisa menagih penjelasannya tentang Kegilaan dan Masyarakat lalu apa mungkin Foucault dalam keadaan gila hingga bisa memunculkan pemikiran yang seperti itu. Atau bertanya tentang kedai kopi dalam buku Ruang Publiknya Jurgen Habermas. Ah, Erlita akan berkelana ke negeri-negeri yang penuh dengan cendekia dan filosof. Ah, iya lupa, bisa kirim salam kepada Pieree Bodeiu karena aku langsung paham masalah Modal, habitus dan ranahnya. Tak seperti Marx tentang kelasnya itu.

Tapi apa dia tidak tambah protes tentang perjalanan yang belum tentu menyenangkan. Jangan pikirkan itu dulu.

Buku Media? Ah, apa mungkin aku bawa Erilita menjadi repoter, menjadi wartawan atau pembaca berita, sepertinya banyak media yang di ‘setir’ pemerintah sekarang, atau media yang suka menyebarkan ‘virus ganas’. So Black list.

Atau aku bawa dia menjelajahi kisah-kisah yang ada Novel-novel, entah yang ditulis oleh orang Indonesia atau orang luar negeri atau bahkan yang ditulis temanku sendiri? Pasti dia pulang dari jelajah nanti berdarah-darah dalam percintaan, atau kehidupan, atau tambah bijak dalam bersikap.

Aku tak tahu akan aku bawa kemana Erlita.

“Lama sekali kau!”

“Sudah selesai!”

“Yakin?”

Lalu kubuka pintu kos-ku. “Silahkan baca tulisanku itu,” sambil menunjuk ke laptop yang sedang menyala.

Sepertinya Erlita semakin anggun, dengan Rok yang padu dengan bajunya, dan kerudung dengan model yang sama seperti dulu, selalu membuatku ingin menarik kerudungnya.

“Kenapa kau tertegun?”

“Ah, tidak... ada yang lain darimu”

“Apa?”

“Sudahlah, mari masuk! Nanti ada Pak Kos, tak enak sendiri.”

“Sudah, aku sudah bilang ke Pak Kos, bahkan kalau perlu aku bisa menginap disini tidur denganmu.”

“Hah?”

“Tak usah heran, Satya dan Maneka saja biasa saja, dia tidur berdua, kan? Berpelukan juga, meski diantara mereka tak ada pernyataan cinta, hanya siakap diantara mereka yang melukiskan itu. Tak pernah ada pembahasan”

“Hah? Kamu tahu Novel itu dari mana?”

“Dulu saat kau tidur, aku pamit masuk ke kamarmu, saat itu ada temenmu yang rambutnya panjang itu. Aku Cuma ingin baca novel yang selalu kau bawa itu”

Ah, dasar perempuan, memang jarang perempuan yang tak membuat lelaki terkejut.

“Sudahlah, aku ingin masuk dan membaca tulisanmu yang membuatku menunggu itu”

“Ya, silahkan.”

“Kenapa dengan rak buku dan buku-bukumu?”

“Sudah, bacalah tulisannya!”

“Ya, maaf!”

ROK

ROK!
Ini bukan tentang macam-macam rok dan yang lainnya tapi ini adalah tentang Rok di lingkungan kecil yang melahirkan aktivis handal dan aktivis yang suka pakai sandal.
Rok sangat unik disana, pastinya rok panjang, entah rok yang lipat, yang lingkar, ataupun maxi yang penting rok. Seperti sebuah Negara, lingkungan ini punya peraturan tentang rok, orang desa bisa jadi meniru peraturan ini.
Kalau ada lelaki yang suka melihat wanita menggunakan rok, jika lelaki itu ada dilingkungan ini, nggak perlu pusing, tanyalah dimana Perputakaan Kampus. Meskipun disekitar kampus masih ada yang menggunakan rok, tapi sangat jarang.
Ya, ruang kecil perpustakaan mempunyai peraturan lain dari kampus, jadi wanita yang suka pakai celana, biar terlihat lebih cantik dan anggun, terpaksa membawa dua pakaian bawah, celana dan rok. Di depan perpustakaan ada pohon yang bisa jadi tempat salin, lebih tepatnya menambah, atau menyusun, atau apalah yang penting bukan mengganti.
Asli peraturan ini akan berubah ketika ada orang Kristen masuk ke dalam kampus, Pasalnya kampus ini sudah naik peringkat, tapi masih dengan rasa yang sama seperti sebelumnya heuheuheu…
Jadi maksud saya, orang desa bisa meniru peraturan ini, orang kota yang sebagian besar kalau datang ke desa bisa berubah peraturan, harus pakai sandal, atau harus pakai sarung.
Sangat mengerti kalau tujuan itu mungkin untuk memadankan, agar yang wanita beda dengan yang lelaki, jadi kalau tidak kelihatan berkerudung ya langsung lihat dibawahnya ber’rok’ apa tidak. Heuheuheu
Tapi, eh ada tapinya, kalau perpustakaan memerhatikan pengunjung yang datang, seperti indoapril alfamei, akan menghapus peraturan itu, soalnya ada kendala di ‘rok’ tadi.
Wanita takut dibuka roknya ketika sepi, apalagi waktu bingung mencari buku, pasalnya bukunya tidak tepat pada urutan nomernya, ini bahaya!
Kedua bisa jadi pindah ke Perpustakaan daerah, pasalnya disana lebih banyak dan lebih enak, pastinya. Ini bahaya juga!
Untung jua sih bagi yang Mahasiswa sedang berbisnis Pakaian lewat Online, jadi mereka tahu rok apa yang sedang diminati. Heuheuheu

*maaf kalau ada yang salah, tulisan ini mengalir saja ketika ada mahasiswa semester dua mengeluh karena rok.

Sandal Mahal Milik Pak Jendral


Google
Dicari
Pencuri Sandal mahal milik Jendral Suryo.
Dengan ciri-ciri Pencuri selalu memakai sandal jepit warna biru sebelah kanan dan hijau sebelah kiri!
Bagi yang menemukan, akan mendapatkan hadiah Satu Juta!
Semua orang pada ribut membicarakan Si Pencuri sandal Jendral Suryo. Pak Jendral yang terkenal di kampung Jagalan itu. Kabarnya Si Pencuri adalah anak sekolahan SMP. Setiap Pak Jendral pergi ke masjid sandalnya selalu hilang, meski dengan penjagaan ketat oleh anak buahnya. Ya, Si Pencuri memang kadang menukar sandal Jendral itu!
***
“Di, Andi, kau jangan pakai sandal jepitmu yang beda itu, nanti kau bisa dibunuh begitu saja!” Pak Narto, Bapaknya Andi melarang.
“Ada apa, pak? Ada apa dengan sandalku? Ini kan sandalku dari dulu,” Andi tak mengerti.
“Ada pencuri sandal Pak Jendral, katanya selalu memakai sandal warna biru sebelah kanan, hijau sebelah kiri, bapak takut kau yang dituduh, bisa mati kau!” jelas Pak Narto.
Semua teman-teman Andi setiap pulang sekolah langsung mengganti alas kakinya dengan sandal jepit seperti yang ada di selebaran itu, termasuk anak Pak Jendral. Pak Jendral sangat geram dengan kelakuan anak-anak kampung. Tak segan-segan Jendral memarahi, memaki, pun memaksa melepaskan sandal jepit lalu membuangnya, termasuk anaknya.
Oh, tidak! Tidak semua yang begitu, Andi memilih mendekam di rumahnya, berdiam diri, tak pernah keluar rumah seusai pulang sekolah. Dia takut dibunuh, sandal satu-satunya, sandal yang dilarang dipakai di kampungnya, Andi tidak mau memakai sandal baru, sandal itu adalah pemberian ibunya sebelum meninggal.
Hanya hitungan hari topik pembicaraan di warung, di pangkalan ojek, di pasar bukan si pencuri lagi, tapi Andi.
“To, anakmu kemana? Tak pernah kelihatan main-main lagi? Kemana dia?” tanya Kirman, teman seprofesi yang lagi santai di tempat kerjanya, pangkalan ojek.
“Dia tidak pernah keluar karena sandalnya pak Jendral itu,” jawab Pak Narto tanpa ekspresi.
“Kenapa? Dia yang mencuri?” tanya Kirman lagi.
“Hah! Apaan kau bilang? Tidak mungkin anakku yang mencuri, dia Cuma taku saja,” jawab Pak Narto sedikit emosi.
“Halaahh alasan kau aja itu! Dari dulu, kan anakmu yang pakai sandal begituan,” Kirman membantah.
“Jangan asal tuduh kau, Man!” lau Pak Narto pulang ingin membuktikan kalau tuduhan itu tidak benar, Pak Narto tidak terima kalau dituduh sembarangan.
“Jangan bohong, To! Ngaku saja!” teriak Kirman.
***
 Sesampai di rumahnya, Pak Narto masih emosi dengan tuduhan tadi. Pintu rumahnya dibanting begitu saja, tak ada orang lain selain Andi. Andi kaget! semakin takut, mengira kalau yang membanting pintu adalah Pak Jendral.  Pintu kamarnya dikunci, duduk memeluk lututnya di pojok.
“Andi!” teriak Pak Narto. Tak ada jawaban!
“Keluar kau, Nak!” Pak Narto semakin Emosi, kalut sekaligus takut, kalau benar, bisa mati dia!
Tubuh Andi bergetar, suara yang dari luar tak dapat dia tebak, suara yang keras yang dia tahu di kampung hanya milik Pak Jendral terhormat itu. Tubuh kurusnya tak mampu menahan ketakutan, getaran itu tak mampu dikontrol. Tak banyak berpikir, dia langsung melompat dari jendela kamarnya. Membawa sandal jepit itu, lalu berlari melarikan diri.
***
“Pak, sudah ketemu pencurinya?” tanya penjaga warung belakang rumah Pak Narto.
“Belum.” jawab Pak Jendral singkat. Lalu beranjak.
Andi yang masih berlari, dia bingung ketika dia berada di depan rumah Pak Jendral, bisa-bisa Pak Jendral melihat sandalnya. Wajahnya kusut, pucat, bingung sendiri. Akhirnya dia kembali lari lalu sembunyi di belakang kandang ayam, yang berada di belakang rumahnya, mungkin tempat yang paling aman baginya.
“Di, sedang apa kau disitu?” Pak Jendral melihat Andi yang sedang jongkok.
“Eh, Pak Jendral, anu pak, ini lagi...” Andi bingung harus jawab apa.
“Kenapa kamu?” Pak Jendral menghampiri Andi.
“Tidak apa...” Belum selasai Andi menjawab, Pak Jendral kaget.
“Kau! Kau! Pencuri sandalku!” Sambil menunjuk lurus ke muka Andi, muka Pak Jendral merah.
Tanpa Ba-bi-bu, Pak Jendral menyeret Andi ke warung tadi, semua orang heran, tidak percaya kalau Andi yang mencuri.
Sampai di pangkalan ojek yang jaraknya hanya tiga meter dari warung, tubuh andi sudah tak karuan, luka-luka, berdebu, meringis kesakitan. Orang-orang di pangkalan ojek tertawa, menikmati siksaan Andi, perkiraan mereka benar, meraka memaki! Mengumpat!
“Pak, Pak!” Lelaki berbadan kekar berlari, berteriak memangil dari belakang Pak Jendral yang sedang dikuasai iblis.
“Apa! Tak terima kau? Anak buah tidak boleh ikut-ikut!”
“Bukan! Yang mencuri sandal Pak Jendral, anak bapak sendiri!” Lelaki itu ketakutan.
“Apa! Jangan bohong kau!” Pak Jendral tak percaya.
“Di kamar anak bapak banyak sandal bapak yang hilang, tadi saya lihat waktu anak bapak merapikan sandal-sandal itu di bawah dipan,” jelas lelaki itu masih ketakutan.
Dilepasnya tangan Andi, dia tergeletak begitu saja. Pak Jendral langsung pulang, geram dengan kelakuan anaknya, juga tak dapat menyembunyikan muka di depan orang banyak.
***
“Dasar! anak kurang ajar! buat apa mencuri sandal ayah?” muka Pak Jendral merah padam.

“Karena Ayah sombong, pamer! Sandal Ayah yang mahal ini cuma dipakai di Masjid, ” jawab anak Jendral itu sembari menunduk. 


Rahasia

JD deisgn


Tukang Cerita itu bercerita tentang kepercayaan…

Masihkah dibilang rahasia, kalau diceritakan kepada orang lain?
Fajar muncul kembali setelah beberapa jam mendekam di tempatnya, wajah para pekerja sudah mulai sadar dari lusuhnya tubuh, rasa enggan bangkit dari tempat tidur bagi mereka yang tidak ada rencana untuk hari ini, rasa masih letih bagi mereka yang semalam bercinta dengan pasangannya, segera bangkit bagi mereka yang menyongsong fajar sampai senja.
Seperti biasa Erlita enggan utnuk keluar rumahnya, hatinya masih lusuh akibat semalam.
***
“Erlita, ceritakan padaku saja, aku akan menyimpannya baik-baik,” kata tetangganya
“Erlita, Padaku saja, ada jaminan untukmu,” kata tukang sampah.
Semua tetangga berebut menjadi tempat cerita rahasianya Erlita, rahasia yang satu-satunya masih disimpan rapat-rapat. Tetangganya tahu dari tetangga yang lain, dan yang lain tahu dari orang lain juga, katanya Erlita pernah bercerita padanya kalau ada satu cerita yang membuat orang sejahtera.
Erlita, tetap di dalam kamarnya, sedang orang mulai dari pagi menunggu di depan rumahnya. Dia mengintip dari kamarnya yang ada di lantai dua, tinggal membukanya saja, lalu jongkok sedikit, orang-orang yang menunggu sudah kelihatan. Bukan hanya tetangga saja yang duduk di depan rumahnya, ada juga wartawan, mulai dari Koran, majalah dan televisi, lokal maupun nasional. Mereka setia menunggu Erlita.
Siang akan menjelang, terik matahari semakin menyengat sampai ke ubun, wartawan masih sibuk dengan laporan yang itu-itu saja, tentang orang yang menunggu, orang yang menggelar tikar, samapai membawa makanan, tak jarang mereka membawa anaknya. Dikiranya Erlita akan percaya kepada anak kecil, kalau memang Erlita tidak percaya kepada orang yang sudah dewasa. Buktinya, mulai kemarin Erlita di datangi orang kantoran, pejabat tinggi sampai pebisnis internasional sekalipun, tapi mereka keluar dengan wajah yang kendor menunduk, bak keluar dari bar dan kalah main judi.
Terdengar suara air dari kamar mandi erlita yang ada di lantai dasar, suara air buat orang yang di luar riuh, mereka kembali berkoar-koar menyampaikan jaminannya. Tanpa mereka bertanya, mengapa Erlita baru mandi jam dua siang begini? Para wartawan langsung melaporkan kejadian terupdate, Final Badminton Indonesia melawan China pun kalah update dengan Erlita yang hanya sedang mandi, wanita umur 32 itu.
“Baik pemirsa, laporan dari kami, bahwa Erlita sedang mandi, wanita yang ditunggu-tunggu oleh kalangan ini sudah beranjak dari kamarnya, sepertinya dia akan keluar rumah siang ini. Yang menunggu dari pagi belum beranjak dari tempatnya, semakin lama semakin banyak, tanah lapang di depan rumah Erlita tidak mencukupi. Banyak mobil dan sepeda motor yang diparkir disana, tenda-tenda sudah berdiri dan….”
Suara pintu terbuka…
Erlita sudah selasai mandi.
“Oh… Pemirsa, keadaaan semakin berdesak-desakan untuk dapat yang paling depan, Suara pintu kamar mandi Erlita terdengar sampai keluar, tinggal menunggu Erlita berdandan dan mungkin dia akan keluar rumah. Semakin lama semakin penasaran dengan rahasia itu, rahasia yang membuat mereka sejahtera, tanpa mempertanyakan mengapa bisa dia punya rahasa yang begitu.”
Erlita, sudah tidak percaya lagi kepada teman, kerabat, tetangga, apalagi orang yang tak dikenlanya. Satu tahun yang lalu Erlita dipecat dari kantornya karena sahabat kantornya menceritakan rahasia Erlita tentang kelakuan di kantornya yang selalu memakai fasilitas WiFi untuk ngobrol dengan teman baru jejaring sosial. Dua bulan selanjutnya Erlita pisah dengan suaminya, kepala desa yang dipecayai Erlita menceritakan Erlita yang biasa mampir ke Bar dan tidur dengan laki-laki lain meskipun tidak bercinta.
Siluet senja terpancar hingga tampak tenda yang sudah berdiri, berubah menajdi oranye buram, sudah empat jam Erlita tidak keluar setelah dikabarkan mandi tadi, lalu terdengar suara orang turun dari tangga, orang-orang semakin berdesakan, menyenggol, yang belakng mendorong agar yang di depan jatuh, yang didepan tarik menarik baju, sampai ada yang sobek, juga sampai ada yang telanjang dada, wanita dan laki-laki, tak pandang siapa mereka berebutan ada yang di depan, bak antrian beras dua puluh kilo dari Presiden, keringat bercampur dengan ludah yang meloncat dari teriakan, sudah tidak ingat yang lain selain ingin mendapatkan cerita rahasia Erlita yang katanya membuat orang sejahtera.
Semakin malam, semakin banyak kesempatan Erlita keluar, biasanya Erlita menghabiskan malamnya di bar. Dan pulang diantar laki-laki dengan mobil mewah, kadang juga diantar orang yang sering muncul di tivi, baik sinetron atau berita. Para penunggu masih saja sibuk dengan saingannya, tenaganya tidak berkurang sedikit saja, banyak juga yang berjatuhan, terinjak dan tak berdaya.
“Erlita… Keluar, aku akan menikahimu, kalau kamu memilihku,” teriak laki-laki yang berhasil ada di depan dengan keadaan telanjang dada, hanya tersisa celana dalam, tiba-tiba ada yang menariknya kebelakang, dan terjatuh, mungkin istrinya.
“Erlita, aku ingin sejahtera bersamamu… aku batalkan kontrakku dengan kolegaku.” Jasnya lusuh, dasinya sudah ada di kantongnya, tapi tidak masuk semua.
“Ada kursi kosong, akan aku berikan untukmu, Erlita, Tiga tahun lagi kau jadi orang kaya selama lima tahun kedepan,” orang itu berteriak dari atas mobil mewahnya.
“Baik pemirsa, Para wartawan ada di zona aman yaitu jarak sepuluh meter dari rumah Erlita, disana sebagian wartawan memanfaatkan mobilnya untuk memblokir lahan khusus untuk waratan agar bisa mendapatkan gambar lebih dekat. Sampai saat ini para penunggu masih belum ada yang pulang, perkiraan kami, ini akan berlangsung sampai Erlita keluar, mungkin tiga tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, mereka akan tetap menunggu rahasia yang berefek sejahtera itu. Dari berbagai kalangan dan berbagai cara, agar Erlita keluar, mereka berteriak dengan jaminan atau janji yang benar-benar gila, mulai dari turun jabatan sampai menjual semua hartanya. Tenda yang dari tadi berdiri tegak sudah roboh tak ada ampun, Dan….”
Ada kertas terbang muncul dari jendela kamar Erlita, semua orang merebutnya, surat itu terbang mengikuti desahan angin, sampai lima meter jaraknya, layaknya bebek yang diarahkan, penunggu rahasia mengkuti kertas itu, sampai akhirnya kertas itu turun perlahan, dan ada di gengaman wanita yang masih memakai pakaian utuh.
“Jangaaaaaaaan!” teriak orang itu.
Tiba-tiba semuanya diam!
“Kertas ini, aku akan baca!”
Aku akan keluar, dengan syarat kalian damai, tentram, tidak ada lagi kericuhan, dan kecurangan, saling percaya, adil satu sama lain. beri aku jarak satu meter saja, nanti ku pilih untuk medengar ceritaku.
Bisa?
“Bisa” Penunggu berteriak kompak.
Erlita keluar…
Semua berlarian…
Erlita masuk lagi. Penunggu mundur sampai satu meter.
Semuanya diam, mereka sadar kembali. Saling memandang. Banyak wanita yang hanya tersisa kutang dan celana dalamnya saja, mereka salah tingkah, dan pria yang memandang memegang kelaminnya. Para wartawan terkekeh.
“Baik, aku akan ceritakan kepada kalian semua…” Erlita keluar.
“Kok bisa?” wanita dengan wajah yang memar dan luka di bagian pipi bertanya.
“Apa kalian ingin sejahtera sendiri, Hah! Macam apa kalian ini?”
Para wartawan sibuk maju kedepan.
“Tapi apa semua berhak sejahtera?” laki-laki berjas lusuh menyangkal.
“Ya, termasuk penipu sekalipun!”
 “Bagaimana masih ingin tahu rahasiaku satu-satunya?”
Semua saling menoleh, bertanya-tanya. Sedang wartawan menjawab kompak “Masih…”
“Bagaimana?”
Tiba-tiba semua orang pergi, kecuali wartawan, namun Erlita masuk ke rumahnya.
“Jadi cerita atau tidak?” tanya salah seorang wartawan
“Orang-orang pada pulang, tidak seru!”
“Baik pemirsa, ternyata Erlita tidak jadi bercerita, karena semua orang pergi, mereka kecewa, karena cerita akan diceritakan kepada orang banyak. Sekian!”
“Mereka bodoh! Toh meskipun di ceritakan kepada satu orang, tetap saja orang lain tahu, kan ada media! Bah!” Erlita berteriak dari dalam rumah.
***
“Kenapa kok tidak bercerita orang yang terpecaya saja, seperti presiden atau yang buat aturan, kan mereka punya kebiasaan tidak melanggar,” Tanya pendengar cerita.
Tukang cerita itu Tertawa…
“Terus rahasianya apa? Apa tetap dikitakan Rahasia, kalau ada orang yang tau?”
Para pendengar diam!

“Kalau iya, siap-siap saja untuk ketahuan banyak orang…” Tukang cerita tertawa lebar

Menggoreng Ide

--
Entah apa yang aku tulis hari ini, karena aku masih bingung dengan ide, ah katanya ide ada dimana-mana. oy... itu benar, benar sekali. tapi bagaimana cara menggoreng ide menjadi lezat seperti telur yang sudah di goreng. ide yang ada dimana-mana itu masih mentah, tidak ada yang matang, bagaimana cara meracik ide hingga menjadi makanan favorit di restoran elit.

oh.. hari ini hanya ini yang aku tulis, di akhir bulan Agustus...!
Like us on Facebook
Follow Me on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS