Aku

Han, Lelaki di semua masa dan peristiwa Erlita

Thank's

Terima Kasih atas kunjungannya, salam Kenal! :)
Home » , » Ah, Semoga Kembali Berkisah

Ah, Semoga Kembali Berkisah


Doc. Internet
Lama sekali aku tak berkisah, bercerita tentang apa saja, tentang siapa saja, cerita dari orang lain, cerita dari diri sendiri, setelah lama aku berusaha untuk kembali naik keluar dari lubang yang sangat dalam, terjatuh setelah mengejar target yang kecil. Aku buka kitab-kitab tata cara berkisah, bercerita yang baik. Tiba-tiba saja aku kembali ke peristiwa dulu, ketika berdarah-darah dalam berkisah. Sungguh ini harus selesai dalam berkisah, kalaupun nanti aku dihadapkan dengan lubang yang lebih dalam, ataupun selebar jurang, setidaknya aku diam sejenak atau berusaha untuk loncat sekuat tenaga, atau membuat jembatan untuk melewati itu. Aku yakin Tuhan bersamaku, hanya aku yang kadang tak menyadarinya, menyerah rela masuk ke dalam lubang yang ternyata sangat dalam.

Bicara waktu, yang memang benar-benar misterius tak bisa dipungkiri kenyamanan memang membuat kita lupa akan perjuangan, tentunya akan banyak tantangan yang lebih berat, mulai dari Sosmed yang merengek-rengek minta diutak atik, atau orang-orang dekat yang ngajak ngopi demi menghilangkan stres,  bisa jadi tugas yang tiba-tiba nangis karena belum selesai, itu semua aku sebut halangan dalam berkisah, ya, begitulah rutinitas yang kadang menjadi alibi belaka, demi kenyamanan diri dalam sulitnya berjuang.

Bicara berkisah, aku jadi ingat Erlita, yang lama tak aku temui, kurang dari satu tahun aku tak menemuinya. Ah, aku tak mau seperti Walmiki yang di protes oleh aktornya dalam Novel Kitab Omong Kosong-nya Seno Gumira Ajidarma. Bayangkan dari sekian tokoh dalam Ramayana, mengganggu perjalanan Walmiki yang berkelana dari negeri satu ke negeri lainnya. Dari tokoh yang karenanya tokoh itu tersiksa sampai tokoh yang hanya muncul sekejap, pun ada yang tak tentu nasibnya. Maklum, cerita yang ditulis Walmiki banyak versi ketika ditangan pendongeng lain.  Tokoh yang sebenarnya mati, tapi dihidupkan oleh pendongeng lain, ah, aku tak ingin perempuan anggunku protes kepadaku akibat aku tinggalkan selama ini.

Tapi aku masih bingung akan berkisah apa, akan aku bawa kemana Erlita berkelana? Sangat perlu sepertinya aku mengobrak-abrik rak buku yang ada di dekatku ini, meski bukan milikku semua, aku tak peduli itu. Oke, Bongkar! Ah, Filsafat, Politik, Sosiologi, Novel, Kisah Sahabat Nabi. Mana yang akan aku pakai ini? Apa aku gabung semua, tapi Erlita pasti bingung atau aku yang bingung meng-kolaborasi semua buku-buku ini, apalagi pasti ada lain pemikiran dan pendapat tentang apapun. Plato dan aristoteles saja yang kedudukannya guru dan murid berbeda pendapat antara idelis dan realitas, apalagi yang lain yang tak bertemu dalam satu zaman.

Ah, sudahlah. Tulisan ini saja berjalan apa adanya, mungkin nanti cerita Erlita akan berjalan apa adanya juga. Toh seiring waktu bagaimanapun caranya, karena hidup ini punya target pasti pengetahuanku bertambah, ya, itu modal untuk bercerita bersama Erlita.

“Keluar!”

Hah?! Ada yang ketok pintu kamarku. Siapa? Suaranya perempuan? Bagaimana mungkin ada teman yang main pagi-pagi begini? Erlita? Ah, mana mungkin dia tahu kos-ku yang baru, dia tahunya kontrakanku yang dulu.

“Siapa?!”

“Hah? Siapa Perempuan yang kau janjikan untuk berkelana, setelah namaku kau jadikan nama samaran dalam cerita pendekmu itu!”

“Erlita?”

“Apa ada perempuan lain, selain nama itu?”

Aku menggeleng, tapi pasti dia tak tahu kalau aku menggeleng.

“Cepat, keluar!”

“Iya, tunggu.”

“Tunggu apa lagi?”

“Aku akan mengajakmu berkisah.”

“Bohong! Buktinya kau tinggalkan aku begitu lama, aku mencari-cari kau, kemana-mana ternyata kau pindah tak bilang-bilang, apa maksudmu? Hah?”

Ah, malas aku mendengarnya, sudah kuduga, semangat berkisah ini pasti ada saja halangannya, termasuk protes dari tokohnya. Aku harus memutuskan kisahku ini.

Dunia Shopie? Ah, apa mungkin Erlita bisa berkelana seperti Shopie dalam novel yang ditulis Jostein Gaarder itu? Dengan pertanyaan pertanyaan filsafat dan jawaban yang teteap menimbulkan pertanyaan, meski dalam penjelasan sederhana, ah seperti Maneka dan Satya dalam Novel Omong kosong itu berarti. Perjalan menemukan lima kitab dengan pertanyaan yang sebenarnya merujuk pada filsafat, bicara dunia dan manusianya. Ah, janganlah!

“Cepat!”

“Iya tunggu, Erlita!” Jawabku geram.

Sosiologi? Apa mungkin? Sepertinya enak juga, nantinya dia bisa tau macam masyarakat, masyarakat dalam bertindak, masyarakat dari zaman ke zaman, setumpukan teori setumpukan pemikiran para sosiolog yang nantinya tahu filsafat juga.

“Kau sedang apa?”

“Bersiap-siap berkisah. Aku tuntaskan janjiku!”

“Masalahnya aku tak percaya, sebelum aku masuk dan melihat wajahmu!”

“Ah, Tunggulah! Diam disana! Sebentar lagi!”

Kalau sosiologi, pasti dia akan bertemu dengan Karl Marx, oh, bisa saja aku titip pertanyaan kepada Erlita, tentang Kelas yang tak sempat terdiefinisakan olehnya. Mungkin saja Erlita mendapat penjelasan itu. Atau bertemu dengan Michel Foucault bisa menagih penjelasannya tentang Kegilaan dan Masyarakat lalu apa mungkin Foucault dalam keadaan gila hingga bisa memunculkan pemikiran yang seperti itu. Atau bertanya tentang kedai kopi dalam buku Ruang Publiknya Jurgen Habermas. Ah, Erlita akan berkelana ke negeri-negeri yang penuh dengan cendekia dan filosof. Ah, iya lupa, bisa kirim salam kepada Pieree Bodeiu karena aku langsung paham masalah Modal, habitus dan ranahnya. Tak seperti Marx tentang kelasnya itu.

Tapi apa dia tidak tambah protes tentang perjalanan yang belum tentu menyenangkan. Jangan pikirkan itu dulu.

Buku Media? Ah, apa mungkin aku bawa Erilita menjadi repoter, menjadi wartawan atau pembaca berita, sepertinya banyak media yang di ‘setir’ pemerintah sekarang, atau media yang suka menyebarkan ‘virus ganas’. So Black list.

Atau aku bawa dia menjelajahi kisah-kisah yang ada Novel-novel, entah yang ditulis oleh orang Indonesia atau orang luar negeri atau bahkan yang ditulis temanku sendiri? Pasti dia pulang dari jelajah nanti berdarah-darah dalam percintaan, atau kehidupan, atau tambah bijak dalam bersikap.

Aku tak tahu akan aku bawa kemana Erlita.

“Lama sekali kau!”

“Sudah selesai!”

“Yakin?”

Lalu kubuka pintu kos-ku. “Silahkan baca tulisanku itu,” sambil menunjuk ke laptop yang sedang menyala.

Sepertinya Erlita semakin anggun, dengan Rok yang padu dengan bajunya, dan kerudung dengan model yang sama seperti dulu, selalu membuatku ingin menarik kerudungnya.

“Kenapa kau tertegun?”

“Ah, tidak... ada yang lain darimu”

“Apa?”

“Sudahlah, mari masuk! Nanti ada Pak Kos, tak enak sendiri.”

“Sudah, aku sudah bilang ke Pak Kos, bahkan kalau perlu aku bisa menginap disini tidur denganmu.”

“Hah?”

“Tak usah heran, Satya dan Maneka saja biasa saja, dia tidur berdua, kan? Berpelukan juga, meski diantara mereka tak ada pernyataan cinta, hanya siakap diantara mereka yang melukiskan itu. Tak pernah ada pembahasan”

“Hah? Kamu tahu Novel itu dari mana?”

“Dulu saat kau tidur, aku pamit masuk ke kamarmu, saat itu ada temenmu yang rambutnya panjang itu. Aku Cuma ingin baca novel yang selalu kau bawa itu”

Ah, dasar perempuan, memang jarang perempuan yang tak membuat lelaki terkejut.

“Sudahlah, aku ingin masuk dan membaca tulisanmu yang membuatku menunggu itu”

“Ya, silahkan.”

“Kenapa dengan rak buku dan buku-bukumu?”

“Sudah, bacalah tulisannya!”

“Ya, maaf!”

0 komentar:

Posting Komentar

Like us on Facebook
Follow Me on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS