Aku

Han, Lelaki di semua masa dan peristiwa Erlita

Thank's

Terima Kasih atas kunjungannya, salam Kenal! :)

-0-



Ketika saya bertanya kepada orang-orang sekitar, apa itu Nol?  Jawabannya satu, Nol adalah Angka! Saya ingin jawaban lain sebenarnya, awalnya saya mulai pertanyaan itu dari kampus saya. Ada banyak orang yang saya tanyakan, mulai dari basa-basi sedikit tentang apa saja, terus langsung saya banting. “Eh Nol itu apa?” Begitu seterusnya, karena saya belum puas dengan jawaban yang sama, saya menyeberang, kebetulan di depan kampus saya ada kampus lain, kampus elit karena berdiri sendiri, berdiri dan buat payung sendiri, kenapa saya bilang elit, lha... barusan saya lihat selebaran yang tergelatak dimana-mana –sepertinya diabaikan, banyak angkanya, dan banyak nolnya. Mingkin ini yang dimaksud teman-teman kampusku. Nol dalam angka. Ah mungkin ada yang berbeda jawaban dari kampus mereka, karena nol yang banyak bisa mempunyai makna lain.
Sesampai disana pertanyaan “Eh Nol itu apa?” saya bagi-bagikan bagitu saja, seperti membagi-bagikan zakat penuh dengan keikhlasan sama persis, tapi kalau saya ada maunya bukan tidak mengharap apa-apa, mungkin itu bedanya, bisa jadi tidak berbeda, sama saja! Asal tahu saja, yang saya bagi-bagikan tadi tidak menghasilkan kepuasan, sama seperti orang yang beramal tapi mengharap sesuatu terutama pujian, kalau orang muslim menyebutnya riya’, apa aku riya’? menurut saya tidak! Karena saya bukan bersedekah dan tidak melakukan hal baik yang mengharap pujian, biarkan saja, ini adalah pembelaanku, pembelaan yang memang harus dibela, orang yang mencari kebenaran dalam fakta, itu harus dibela!
Kembali lagi, ada alasan untuk setiap pertanyaan, dan pertanyaan sayapun juga ada alasannya. Saya langsung bertanya seperti itu karena saya hanya ingin tahu persepsi mereka tentang Nol, tanpa ada embel-embel apapun! Tanpa ada rangsangan apapun! Tanpa pancingan apapun!
Saya duduk di depan Gedung Rekotorat, apa aku bertanya kepada orang-orang yang keluar dari Gedung Rektorat, tidak! Mengapa? Karena orang-orang rektorat akan berpikir keras tentang pertanyaan yang tiba-tiba dengan alasan ‘takut salah’ ‘takut dikira bodoh oleh mahasiswa’. Saya berkata begini ada buktinya. Misal, Orang-orang rektorat tidak mungkin langsung keluar menemui mahasiswa ‘terbaiknya’. Mereka akan mendengarkan dari dalam, atau mengirimkan pesan pendek kepada dosen yang berada di luar Rektorat, utnuk bertanya ‘Demo apa di depan Rektorat? Menuntut apa mereka?’ Nah dari situ Orang-orang rektorat bersiap-siap mencari jawaban[1].
***
“Eh Nol... itu apa?” aku tanyakan itu kepada anak kecil yang ada di Rental Plays Station, otakku stres gara-gara ingin menemukan perbedaan tanpa pancingan, rangsangan dan lain sebagainya.
“Eh Nol itu Apa?”
“Nol , itu skor, Bang... skor abangku yang gag bisa masukin bolanya ke gawangku, haha” anak itu tertawa mengejek abangnya yang kalah dengan Skor 3-0.
“Itukan masih permulaan, belum dengan strategi mautku, lihat saja nanti babak kedua,” Abang anak kecil itu menimpali, sepertinya dia kesal.
“Goool.....” Anak kecil itu berteriak girang.
“Jangan senang dulu kau...” dengus Abang tadi
“Buktikan donk, buktikan...” Anak kecil itu senang dengan skor itu.
Semakin lama saya melihat mereka bermain game, semakin curiga dengan skor dan permainan yang diminati banyak orang itu –sepak bola.
Saya memutuskan utnuk pulang sore ini, di pantai akan lebih indah, senja menemani saya, siapa tahu si senja itu bisa menjawab kecurigaan saya tadi, konyol memang, ah.. yang konyol itu yang menarik, seperti si Olga sama si Tukul.
Siapa yang tidak tahu senja.
Siapa yang tak tersipu dengan senja.
Andai orang kota ada celah untuk melihat senja.
Pastilah mereka berhenti berkendara memaksa menorobos.
Berhenti menunduk berpikir keras tentang pekerjaan.
Tapi.. ah.. sedikit sekali.
Hanya orang pesisir dan desa yang bisa begini.

Siapa yang tidak tahu senja.
Siapa yang tak pernah melukis sesuatu dengan senja.
Sukabnya Seno gumira saja memotong senja untuk pacarnya.
Penulis Novel saja menghadirkan dalam Nama Penanya –Pipiet Senja
Mohtar Lubis dengan Senja di Jakarta.
N. Riantiarno dengan Percintaan Senja.
Dan Senja-senja yang lainnya.

Siapa yang tidak tahu senja.
Sinar yang bersiluet dengan sabar menunggu pulangnya mentari
Setia pulang bersama matahari, padahal keluar bersama Fajar.
Tak begitu berbinar demi indahnya yang pendar.

Saya tulis sajak itu bersama senja, lalu berhenti ketika saya ingat akan tujuan saya kesini. Tapi tetap saja yang paling utama ingin menyapa senja, jarang sekali manusia menyapa senja, mereka menyapa ketika ada di tempat yang indah dan bisa menikmati senja, itupun ketika mereka berlibur. Aku mulai memikirkan percakapan tadi dan jawaban yang berbeda dengan yang lain. Kalau anda sekalian berpendapat, “ah... kebetulan saja” maka saya sangkal dengan sebuah kejadian –flash back.
***
Saya berkumpul dengan teman-teman yang berbicara tentang nilai yang di wakilkan oleh huruf yang mana E=0. Dan tetap saja dengan santainya ada yang menjawab, Nol sebenarnya itu angka. Itu yang pertama, kedua, di kampus tetangga mengapa mereka tidak menjawab Nol itu bahaya bagi mahasiswa baru, semakin banyak nol semakin susah menghitungnya. maklum mahasiswa sekarang banyak yang berusaha mencari eksistensi.
Senja akan hilang sebentar lagi, sembari menikmati senja saya melihat anak-anak yang sedang bermain bola, yah, seperti biasa tidak perlu dideskripsikan lagi bagaimana anak yang bermain bola dipinggir pantai, saya kira orang-orang sudah pada tahu.
Sepak bola itu ada dimana-mana, di anak-anak, di dewasa, di hobi, di cita-cita, di favorit, di obrolan anak-anak, di perbincangan dewasa, di taruhan bapak-bapak dan remaja, di tanah lapang, di pinggir pantai, di depan rumah, di sekolah. Di budaya, di seni, di politik, di perebutan, di pemilihan, di persaingan, di korupsi, di kerugian, di keuntungan, dan di, di yang lainnya. Sepak boa ada di kehidupan kita
“Gooolll” anak-anak yang bagian tak memakai kaos itu bersorak-sorai atas masuknya bola ke gawang lawan.
Kecurigaan saya nampaknya semakin menemukan titik terang layaknya senja yang baru datang menunggu matahari pulang. ketika aku membayangkan di- tadi dan disambut Gol-nya anak-anak.
Saya terdiam begitu lama, sama lamanya dengan senja yang ditatap dengan penuh kenikmatan –sekejap. Riaknya ombak, teriaknya anak-anak dan juga teriaknya kebodohanku yang tak kunjung menemikan jawaban menjadi satu mengaung di atas –semoga senja tak berteriak.
“Mengapa hidup begini?” saya teriak berkalai-kali.
Da anak kecil yang menimpali, “maen bolaaa saja baaaang”
“Main bola” saya masih berpikir ajakan itu.
Aku menolaknya tapi dengan simbol, yaitu langsung kembali ke rumah. ketika setengah perjalanan –tetap berpikir. Anak-anak kecil berlarian, ah.. mungkin bermain bolanya sudah selesai.
Bola dimana-mana, hidup, selesai.
Tiba-tiba saya berpikir empat kata itu. Saya semakin curiga dengan empat kata itu. Hingga aku menyambung-nyambungkan, di bolak balik hingga aku mendappatkan kalimat yang tidak sedikit jorok. Sudah, lupakan saja!
Oke langsung saja, saya mendapatkan kesimpulan yang paling tepat disaat kepala pusing seperti ini, ya, aku anggap tepat saja, toh benar-benar tepat bagi saya, dan juga anda –semoga.
Begini. Mungkin di kalimat berikutnya saya berlagak bijak, tapi betulah adanya, kalau berbelit-belit seperti diatas tidak cepet ditangkap, kalau yang diatas mah tidak apa-apa. Intinya disini! Hidup itu dimana-mana seperti bermain bola. Dari skor 0-0, awal lahir kita sudah mendapatkan musuh, apa? Pertanyaan, Hal yang baru dan membuat kita menangis.  Hidup itu punya musuh, entah itu cobaan dari tuhan, musuh bebuyutan, musuh yang menyamar menjadi sahabat atau teman. Juga, hidup punya tujuan, gawang. Kalau gawang kita yang kebobolan, kita gagal, kalau gawang musuh yang kebobolan kita menang. Dalam hidup ada strategi. Nah si abangnya anak kecil tadi bilang mengeluarkan strateginya makanya dia kalah, mungkin kalau dia mengeluarkan strateginya maka di akan menang, hidup itu adu strategi. Hidup itu berteman, bermain bola kalau bermain sata lawan satu, tidak akan seru dan biasa-biasa saja, kita tidak bisa menjalankan strategi tanpa teman, siapa yang kan memberi informasi? Cari sendiri, tanya kesiapa? Ke orang. Teman tidak harus kenal! Kita semua saudara!  Kadang dalam sepak bola ada  teman yang salah umpan atau sembarangan, begitulah hidup kadang tidak ada teman yang sejati. Posisi, berarti kita harus tahu diri. Miskin, berusaha dong jangan santai, kaya, jangan belagu dong, ada yang lebih kaya, maha kaya malah! Ada juga yang curang, sama dengan dalam hidup, ada yang iri, ada yang taruhan, dalam hidup juga, ada yang menggosip tentang kita, ingin tahu hasilnya. Posisi, strategi, teman  semuanya untuk menjebol gawang lawan. Tahu diri, perencanaan, teman dan yang lainnya semuanya untuk menembus impian, untuk melawan penghalang kita! Nah ketika waktunya tiba, menang atau kalah kita pasti akan selesai, Mati!


[1] Tengtang ini, saya pernah bertanya kepada salah satu dosen,tapi meskipun fakta, cerita ini tetaplah fiksi.

Cerita ini adalah cerita Fiksi yang mungkin membuat para pembaca bosan. Semoga anda bisa berperang dengan kebosanan. Tapi toh kalau memang benar-benar membosankan dan tidak bernafsu untuk membaca sampai selesai, tidak apa-apa! saya tetap ucapkan Terimakasih...
Salam Bosan, Salam Baik nan Hangat dari Penulis

HH. Imam
Tulisan Ini dirangkai pada 1 Agustus 2013

4 komentar:

  1. Waw kak, kalimat-kalimatnya oke banget deh

    BalasHapus
  2. Wah Ima memang ahlinya deh kalau komentar beginian :p

    Terimakasih yaa sudah baca.

    Salam Bosan.

    BalasHapus
  3. kreatif mam, ide nya bisa di bilang orisinil juga. mungkin ilustrasinya lebih di kembangkan mam, bagaimana suasana ketika bertanya, letak geografis kampus anda dengn kmpus lain tersebut.
    keng lakar jago lae,eng TOPIK riah

    BalasHapus
  4. Terimakasih Kak. Yaaa beginilah yang saya dapatkan sementara

    Apa Maksudnya TOPIK? Hak.. aku sensitif mendengarnya :D

    BalasHapus

Like us on Facebook
Follow Me on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS