Ketika saya bertanya kepada orang-orang
sekitar, apa itu Nol? Jawabannya satu,
Nol adalah Angka! Saya ingin jawaban lain sebenarnya, awalnya saya mulai
pertanyaan itu dari kampus saya. Ada banyak orang yang saya tanyakan, mulai
dari basa-basi sedikit tentang apa saja, terus langsung saya banting. “Eh Nol
itu apa?” Begitu seterusnya, karena saya belum puas dengan jawaban yang sama,
saya menyeberang, kebetulan di depan kampus saya ada kampus lain, kampus elit
karena berdiri sendiri, berdiri dan buat payung sendiri, kenapa saya bilang
elit, lha... barusan saya lihat selebaran yang tergelatak dimana-mana
–sepertinya diabaikan, banyak angkanya, dan banyak nolnya. Mingkin ini yang
dimaksud teman-teman kampusku. Nol dalam angka. Ah mungkin ada yang berbeda
jawaban dari kampus mereka, karena nol yang banyak bisa mempunyai makna lain.
Sesampai disana pertanyaan “Eh
Nol itu apa?” saya bagi-bagikan bagitu saja, seperti membagi-bagikan zakat
penuh dengan keikhlasan sama persis, tapi kalau saya ada maunya bukan tidak
mengharap apa-apa, mungkin itu bedanya, bisa jadi tidak berbeda, sama saja!
Asal tahu saja, yang saya bagi-bagikan tadi tidak menghasilkan kepuasan, sama
seperti orang yang beramal tapi mengharap sesuatu terutama pujian, kalau orang
muslim menyebutnya riya’, apa aku riya’? menurut saya tidak! Karena saya
bukan bersedekah dan tidak melakukan hal baik yang mengharap pujian, biarkan
saja, ini adalah pembelaanku, pembelaan yang memang harus dibela, orang yang
mencari kebenaran dalam fakta, itu harus dibela!
Kembali lagi, ada alasan untuk
setiap pertanyaan, dan pertanyaan sayapun juga ada alasannya. Saya langsung
bertanya seperti itu karena saya hanya ingin tahu persepsi mereka tentang Nol,
tanpa ada embel-embel apapun! Tanpa ada rangsangan apapun! Tanpa pancingan
apapun!
Saya duduk di depan Gedung Rekotorat,
apa aku bertanya kepada orang-orang yang keluar dari Gedung Rektorat, tidak!
Mengapa? Karena orang-orang rektorat akan berpikir keras tentang pertanyaan
yang tiba-tiba dengan alasan ‘takut salah’ ‘takut dikira bodoh oleh mahasiswa’.
Saya berkata begini ada buktinya. Misal, Orang-orang rektorat tidak mungkin
langsung keluar menemui mahasiswa ‘terbaiknya’. Mereka akan mendengarkan dari
dalam, atau mengirimkan pesan pendek kepada dosen yang berada di luar Rektorat,
utnuk bertanya ‘Demo apa di depan Rektorat? Menuntut apa mereka?’ Nah dari situ
Orang-orang rektorat bersiap-siap mencari jawaban[1].
***
“Eh Nol... itu apa?” aku tanyakan
itu kepada anak kecil yang ada di Rental Plays Station, otakku stres
gara-gara ingin menemukan perbedaan tanpa pancingan, rangsangan dan lain
sebagainya.
“Eh Nol itu Apa?”
“Nol , itu skor, Bang... skor
abangku yang gag bisa masukin bolanya ke gawangku, haha” anak itu tertawa
mengejek abangnya yang kalah dengan Skor 3-0.
“Itukan masih permulaan, belum
dengan strategi mautku, lihat saja nanti babak kedua,” Abang anak kecil itu
menimpali, sepertinya dia kesal.
“Goool.....” Anak kecil itu
berteriak girang.
“Jangan senang dulu kau...”
dengus Abang tadi
“Buktikan donk, buktikan...” Anak
kecil itu senang dengan skor itu.
Semakin lama saya melihat mereka
bermain game, semakin curiga dengan skor dan permainan yang diminati banyak
orang itu –sepak bola.
Saya memutuskan utnuk pulang sore
ini, di pantai akan lebih indah, senja menemani saya, siapa tahu si senja itu
bisa menjawab kecurigaan saya tadi, konyol memang, ah.. yang konyol itu yang
menarik, seperti si Olga sama si Tukul.
Siapa yang tidak tahu senja.
Siapa yang tak tersipu dengan
senja.
Andai orang kota ada celah untuk
melihat senja.
Pastilah mereka berhenti
berkendara memaksa menorobos.
Berhenti menunduk berpikir keras
tentang pekerjaan.
Tapi.. ah.. sedikit sekali.
Hanya orang pesisir dan desa yang
bisa begini.
Siapa yang tidak tahu senja.
Siapa yang tak pernah melukis
sesuatu dengan senja.
Sukabnya Seno gumira saja
memotong senja untuk pacarnya.
Penulis Novel saja menghadirkan
dalam Nama Penanya –Pipiet Senja
Mohtar Lubis dengan Senja di
Jakarta.
N. Riantiarno dengan Percintaan
Senja.
Dan Senja-senja yang lainnya.
Siapa yang tidak tahu senja.
Sinar yang bersiluet dengan sabar
menunggu pulangnya mentari
Setia pulang bersama matahari,
padahal keluar bersama Fajar.
Tak begitu berbinar demi indahnya
yang pendar.
Saya tulis sajak itu bersama
senja, lalu berhenti ketika saya ingat akan tujuan saya kesini. Tapi tetap saja
yang paling utama ingin menyapa senja, jarang sekali manusia menyapa senja,
mereka menyapa ketika ada di tempat yang indah dan bisa menikmati senja, itupun
ketika mereka berlibur. Aku mulai memikirkan percakapan tadi dan jawaban yang berbeda
dengan yang lain. Kalau anda sekalian berpendapat, “ah... kebetulan saja” maka
saya sangkal dengan sebuah kejadian –flash back.
***
Saya berkumpul dengan teman-teman
yang berbicara tentang nilai yang di wakilkan oleh huruf yang mana E=0. Dan
tetap saja dengan santainya ada yang menjawab, Nol sebenarnya itu angka. Itu
yang pertama, kedua, di kampus tetangga mengapa mereka tidak menjawab Nol itu
bahaya bagi mahasiswa baru, semakin banyak nol semakin susah menghitungnya.
maklum mahasiswa sekarang banyak yang berusaha mencari eksistensi.
Senja akan hilang sebentar lagi,
sembari menikmati senja saya melihat anak-anak yang sedang bermain bola, yah,
seperti biasa tidak perlu dideskripsikan lagi bagaimana anak yang bermain bola
dipinggir pantai, saya kira orang-orang sudah pada tahu.
Sepak bola itu ada dimana-mana,
di anak-anak, di dewasa, di hobi, di cita-cita, di favorit, di obrolan
anak-anak, di perbincangan dewasa, di taruhan bapak-bapak dan remaja, di tanah
lapang, di pinggir pantai, di depan rumah, di sekolah. Di budaya, di seni, di
politik, di perebutan, di pemilihan, di persaingan, di korupsi, di kerugian, di
keuntungan, dan di, di yang lainnya. Sepak boa ada di kehidupan kita
“Gooolll” anak-anak yang bagian
tak memakai kaos itu bersorak-sorai atas masuknya bola ke gawang lawan.
Kecurigaan saya nampaknya semakin
menemukan titik terang layaknya senja yang baru datang menunggu matahari
pulang. ketika aku membayangkan di- tadi dan disambut Gol-nya anak-anak.
Saya terdiam begitu lama, sama
lamanya dengan senja yang ditatap dengan penuh kenikmatan –sekejap. Riaknya
ombak, teriaknya anak-anak dan juga teriaknya kebodohanku yang tak kunjung
menemikan jawaban menjadi satu mengaung di atas –semoga senja tak berteriak.
“Mengapa hidup begini?” saya
teriak berkalai-kali.
Da anak kecil yang menimpali,
“maen bolaaa saja baaaang”
“Main bola” saya masih berpikir
ajakan itu.
Aku menolaknya tapi dengan
simbol, yaitu langsung kembali ke rumah. ketika setengah perjalanan –tetap
berpikir. Anak-anak kecil berlarian, ah.. mungkin bermain bolanya sudah
selesai.
Bola dimana-mana, hidup, selesai.
Tiba-tiba saya berpikir empat
kata itu. Saya semakin curiga dengan empat kata itu. Hingga aku
menyambung-nyambungkan, di bolak balik hingga aku mendappatkan kalimat yang
tidak sedikit jorok. Sudah, lupakan saja!
Oke langsung saja, saya
mendapatkan kesimpulan yang paling tepat disaat kepala pusing seperti ini, ya,
aku anggap tepat saja, toh benar-benar tepat bagi saya, dan juga anda –semoga.
Begini. Mungkin di kalimat
berikutnya saya berlagak bijak, tapi betulah adanya, kalau berbelit-belit
seperti diatas tidak cepet ditangkap, kalau yang diatas mah tidak apa-apa. Intinya
disini! Hidup itu dimana-mana seperti bermain bola. Dari skor 0-0, awal lahir kita
sudah mendapatkan musuh, apa? Pertanyaan, Hal yang baru dan membuat kita
menangis. Hidup itu punya musuh, entah
itu cobaan dari tuhan, musuh bebuyutan, musuh yang menyamar menjadi sahabat
atau teman. Juga, hidup punya tujuan, gawang. Kalau gawang kita yang kebobolan,
kita gagal, kalau gawang musuh yang kebobolan kita menang. Dalam hidup ada
strategi. Nah si abangnya anak kecil tadi bilang mengeluarkan strateginya
makanya dia kalah, mungkin kalau dia mengeluarkan strateginya maka di akan
menang, hidup itu adu strategi. Hidup itu berteman, bermain bola kalau bermain
sata lawan satu, tidak akan seru dan biasa-biasa saja, kita tidak bisa
menjalankan strategi tanpa teman, siapa yang kan memberi informasi? Cari
sendiri, tanya kesiapa? Ke orang. Teman tidak harus kenal! Kita semua saudara! Kadang dalam sepak bola ada teman yang salah umpan atau sembarangan,
begitulah hidup kadang tidak ada teman yang sejati. Posisi, berarti kita harus tahu
diri. Miskin, berusaha dong jangan santai, kaya, jangan belagu dong, ada yang
lebih kaya, maha kaya malah! Ada juga yang curang, sama dengan dalam hidup, ada
yang iri, ada yang taruhan, dalam hidup juga, ada yang menggosip tentang kita,
ingin tahu hasilnya. Posisi, strategi, teman
semuanya untuk menjebol gawang lawan. Tahu diri, perencanaan, teman dan
yang lainnya semuanya untuk menembus impian, untuk melawan penghalang kita! Nah
ketika waktunya tiba, menang atau kalah kita pasti akan selesai, Mati!
[1] Tengtang
ini, saya pernah bertanya kepada salah satu dosen,tapi meskipun fakta, cerita
ini tetaplah fiksi.
Cerita ini adalah cerita Fiksi yang mungkin membuat para pembaca bosan. Semoga anda bisa berperang dengan kebosanan. Tapi toh kalau memang benar-benar membosankan dan tidak bernafsu untuk membaca sampai selesai, tidak apa-apa! saya tetap ucapkan Terimakasih...
Salam Bosan, Salam Baik nan Hangat dari Penulis
HH. Imam
Tulisan Ini dirangkai pada 1 Agustus 2013
Cerita ini adalah cerita Fiksi yang mungkin membuat para pembaca bosan. Semoga anda bisa berperang dengan kebosanan. Tapi toh kalau memang benar-benar membosankan dan tidak bernafsu untuk membaca sampai selesai, tidak apa-apa! saya tetap ucapkan Terimakasih...
Salam Bosan, Salam Baik nan Hangat dari Penulis
HH. Imam
Tulisan Ini dirangkai pada 1 Agustus 2013
Waw kak, kalimat-kalimatnya oke banget deh
BalasHapusWah Ima memang ahlinya deh kalau komentar beginian :p
BalasHapusTerimakasih yaa sudah baca.
Salam Bosan.
kreatif mam, ide nya bisa di bilang orisinil juga. mungkin ilustrasinya lebih di kembangkan mam, bagaimana suasana ketika bertanya, letak geografis kampus anda dengn kmpus lain tersebut.
BalasHapuskeng lakar jago lae,eng TOPIK riah
Terimakasih Kak. Yaaa beginilah yang saya dapatkan sementara
BalasHapusApa Maksudnya TOPIK? Hak.. aku sensitif mendengarnya :D